Penonaktifan anggota DPR ranah internal partai, bukan ketentuan UU

Jakarta(cvtogel daftar) – Isu penonaktifan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kerap mencuat dalam dinamika politik nasional. Namun, secara hukum, penonaktifan bukanlah mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang (UU), melainkan sepenuhnya ranah internal partai politik.

Dalam ketentuan UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), yang diatur adalah mekanisme pemberhentian anggota DPR, salah satunya melalui pergantian antarwaktu (PAW). Pemberhentian itu dapat terjadi jika anggota DPR meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan oleh partai politiknya.

“Penonaktifan tidak dikenal dalam UU. Itu hanya keputusan politik internal partai. Secara hukum, anggota yang dinonaktifkan partai tetap sah sebagai anggota DPR sebelum ada proses PAW yang resmi,” ujar seorang pakar hukum tata negara.

Mekanisme Internal Partai

Penonaktifan biasanya dituangkan dalam aturan internal partai berupa sanksi politik, seperti penarikan dari fraksi, pembekuan penugasan, atau pencabutan jabatan di alat kelengkapan dewan. Meski demikian, langkah itu tidak menghapus status keanggotaan di DPR.

Untuk benar-benar memberhentikan seorang anggota DPR, partai wajib mengajukan usulan PAW ke pimpinan DPR dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Proses tersebut baru memiliki kekuatan hukum berdasarkan UU MD3.

Implikasi Politik

Dengan demikian, penonaktifan lebih merupakan instrumen kontrol politik partai terhadap kadernya. Anggota DPR yang dinonaktifkan tetap memiliki legitimasi sebagai wakil rakyat sampai ada keputusan PAW yang disahkan KPU.

Langkah partai menonaktifkan kadernya sering dinilai sebagai strategi politik internal tanpa konsekuensi hukum langsung terhadap kedudukan legislator yang bersangkutan.